This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 28 April 2012

SEJARAH SYAIKH AHMAD YASIN

“Wahai anak-anakku, telah tiba saatnya kalian kembali kepada Allah swt., meninggalkan berbagai sorak kehidupan dan menyingkirkannya ke tepi jalan. Telah tiba saatnya kalian bangun dan melakukan salat subuh berjamaah, saatnya kalian menghiasi diri dengan akhlak mulia, mengamalkan kandungan al Qur’an, serta meneladani Muhammad saw.

Aku mengajak kalian wahai anak-anakku untuk shalat tepat waktu. Lebih dari itu, aku mengajak kalian, wahai anak-anakku, untuk mendekat kepada Nabi kalian yang agung.
Wahai para pemuda, aku ingin kalian mengenal dan menyadari makna tanggung jawab, tegar menghadapi kesulitan hidup, meninggalkan keluh kesah, menghadap kepada Allah swt., banyak meminta ampunan kepada-Nya agar Dia memberi rezeki kepada kalian, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Aku ingin kalian tidak terlena oleh saluran-saluran lagu audio visual, melupakan kata-kata yag mengobral cinta, serta menggantinya dengan kata amal, kerja, dan zikir kepada Allah. Wahai anak-anakku, kuharap kalian tidak sibuk dengan musik dan terjerumus ke dalam arus syahwat.
Wahai putriku, aku ingin kalian berjanji kepada Allah mempergunakan hijab secara benar. Aku meminta kalian berjanji kepada Allah peduli dengan agama dan Nabi kalian yang mulia. Jadikanlah ibunda kalian, Khadijah dan Aisyah, sebagai teladan. Jadikan mereka sebagai pelita hidup kalian. Haram hukumnya bagi kalian membuat usaha para pemuda untuk menjaga mata mereka menjadi kendur dan surut.
Kepada semuanya, aku ingin kalian bersiap-siap menghadapi segala sesuatu yang akan datang. Bersiaplah dengan agama dan ilmu pengetahuan. Bersiaplah untuk belajar dan mencari hikmah. Belajarlah bagaimana hidup dalam kegelapan yang pekat. Latihlah diri kalian agar dalam beberapa saat hidup tanpa listrik dan perangkat elektronik. Latihlah diri kalian agar dalam sementara waktu merasakan kehidupan yang keras. Biasakan diri kalian agar dapat melindungi diri dan membuat perencanaan untuk masa depan. Berpeganglah kepada agama kalian. Carilah sebab-sebabnya dan tawakallah kepada Allah.”
(Petikan salah satu pidato beliau)
Kemuliaan Hati Mengalahkan Hambatan Fisik
Dia adalah seorang mukmin yang merdeka meski seluruh hidupnya dibelenggu dengan terali besi. Itulah gambaran indah yang mencerminkan kehidupan Syaikhul Mujahidin, Guru para Mujahid dan perlawanan ini. Meskipun sebenarnya gambaran tersebut kalah indah dengan kalbunya yang menghembuskan kehidupan serta tekadnya yang tidak pernah lumpuh dan tidak terbelenggu oleh ikatan penjara. Beliau adalah cakrawala yang luas serta pikiran yang hidup yang tidak mengenal batas. Demikianlah kehidupannya di penjara dan begitulah kisahnya saat berada di medan dakwah dan perlawanan, seperti yang dituturkan oleh orang-orang yang mendampinginya, mengenai sosok yang tidak mampu bergerak, namun bisa menggerakkan dunia.
Dia bukanlah seorang presiden ataupun seorang raja. Dia hanyalah seorang lelaki lumpuh yang membangun ide perlawanan hingga menjadi sosok yang tidak disebut kecuali dengannya. Sampai hari ini, setiap orang baik lawan maupun kawan tetap menaruh hormat kepadanya. Namanya senantiasa disebut di seluruh dunia. Dialah Amir Mujahidin Palestina, mujahid Ahmad Yasin, gugur perlawanan yang gugur oleh tangan-tangan biadab Zionis Israel dalam serangan rudal dari pesawat heli tempur Apache buatan Amerika, selepas shalat subuh di masjid kota Gaza, Senin 22 maret 2004 lalu.
Seperti diungkapkan Prof. Dr. Taufiq Yusuf al Wa’i, dalam karyanya “Qaadat al-Jihaad al-Filistiini fii al-Ashr al-Hadiits: Kifaah, Tadhiyyah, Butuulaat, Syahaadaat”, semua gambaran di atas terdapat pada sosok lumpuh yang tak mampu berdiri ini; sosok yang kedua tangannya pun lumpuh tidak mampu membawa sesuatu; sosok yang kurus dan lemah; tubuh yang terserang oleh berbagai penyakit; penglihatan yang telah kabur kecuali hanya seberkas sinar dari satu mata; serta penderitaan dan sakit yang tak kunjung reda. Bukankah ini sesuatu yang menakjubkan? Bukankah ia merupakan tanda kebesaran Tuhan dan wujud anugerah-Nya? Sosok tersebut hidup untuk misi dan untuk umatnya. Ia menghabiskan usianya dalam dakwah. Ia adalah jihad yang terus berjalan, teladan yang terus bergerak, panutan yang memancarkan cahaya dan keimanan, serta pemahaman dan pengetahuan di tengah jarangnya orang yang tulus, di tengah sedikitnya keikhlasan, serta di tengah lenyapnya suara kebenaran dan ketegasan. Syaikh Yasin datang sebagai pemimpin bagi para mujAhed, tokoh bagi para dai, guru yang bijak dan teladan yang agung bagi para pendidik. Tubuhnya yang kurus, kelumpuhannya, dan penyakit yang kronis membuatnya tidak mampu berjuang dengan senjata. Karena itu, beliau berjuang dengan senjata hikmah, dengan pedang pembinaan dan penataan, dengan meriam keimanan, serta dengan bom kesabaran, keteguhan, dan ketegaran.
Namun demikian Ahmad Yasin membekali dirinya dengan pendidikan tinggi secara autodidak. Sungguh menakjubkan, Ahmad Yasin terbukti menguasai segala bidang keilmuan mulai dari agama, bahasa, sastra, politik, sosial sampai masalah ekonomi. Dengan wawasan yang luas inilah kemudian Ahmad Yasin menjadi sumber rujukan di Jalur Gaza dan semua orang, dari berbagai lapisan, terkesan oleh ceramah-ceramah yang disampaikan. Semua orang mendengar apa yang dikatakan dan menaruh hormat. Sejatinya, semua itu bukan hanya karena wawasan dan keilmuan yang dimilikinya saja. Sebenarnya banyak kaum intelek Palestina kala itu, namun – allahu a’lam – mungkin itu semua karena sikap wara’, ikhlas, tawadhu’, energik – meski fisiknya cacat -, kecerdasan, visi yang benar, kelapangan dada dan semangat memperjuangkan agama dan tanah air, serta totalitas kerjanya diperuntuhkan hanya pada Allah.
Masa Muda Syaikh Ahmad Yassin
Kedua kakinya yang lumpuh tak menghalanginya untuk memandu perjuangan dari atas kursi roda. Namanya menjelma menjadi simbol jihad bagi rakyat Palestina dalam melawan penjajahan Zionis. Berkali-kali militer tentara Israel mencoba membunuhnya, berkali-kali juga gagal.
Ahmad Yasin kecil biasa dipanggil dengan (kuniyah) Abu Sa’dah, dinisbatkan kepada ibundanya Sa’dah Abdullah al Hubail, untuk membedakan sebutan karena banyaknya nama Ahmad dalam keluarga Yasin. Sa’dah adalah sosok hajjah yang mulia, sabar, dan penuh keyakinan, termasuk wanita terhormat di desa tersebut. Ayah Ahmad Yasin bernama Ismail Yasin, orang terkemuka di desanya. Keluarganya termasuk keluarga yang berkecukupan. Ismail meninggal dunia ketika Ahmad masih sangat kecil, belum lewat usia 3 tahun, meninggalkan keluarga yang terdiri atas sebelas orang. Ahmad Yasin adalah anak ketiga di antara 4 anak laki-laki keluarga Ismail.
Ketika tentara Arab menderita kekalahan pada 1948, Yassin baru berusia 12 tahun. Peristiwa ini meninggalkan pelajaran dalam kehidupan maupun pemikiran politiknya kemudian. Menurutnya, mempersenjatai diri sendiri adalah jalan yang lebih ampuh daripada menggantungkan harapan pada orang lain, baik dunia Arab maupun internasional. “Tentara Arab yang datang untuk memerangi Israel justru merampas senjata dari tangan kami. Mereka beralasan, tidak pantas ada pasukan lain. Nasib kami pun terikat dengannya. Jika pasukan Arab kalah, kami pun kalah. Lalu Zionis menebar pembantaian dan penyembelihan. Seandainya senjata berada di tangan kami, tentu situasi akan berubah.”
Ahmad Yassin bersekolah SD di Jaurah hingga kelas lima. Situasi kacau pada tahun 1948 memaksanya hijrah menemani keluarganya ke Gaza. Di sana, situasi berubah pahit. Keluarganya, seperti umumnya pengungsi, merasakan kefakiran, kelaparan dan intimidasi. Masa itu, ia biasa pergi ke perkemahan tentara Mesir bersama teman-temannya untuk mengambil sisa-sisa makanan tentara untuk ia berikan pada keluarganya. Sekolahnya sempat terhenti pada tahun 1949-1950 demi menolong ekonomi keluarganya yang berjumlah dari tujuh orang, Ia terpaksa bekerja di salah satu restoran kacang di Gaza.
Kecelakaan Itu
Malang tak dapat ditolak. Pada tahun 1952, saat berusia 16 tahun, rangka leher Yassin patah ketika bermain bersama kawan-kawannya.
Di dekat kamp pengungsi al Shati’, pantai adalah tempat bermain yang sangat penting dan strategis. Di sana banyak dilakukan aktivitas mulai dari keilmuan yang disusul dengan kegiatan olah raga. Di antara olah raga yang dilakukan adalah melompat dari ketinggian ke pasir laut (yang indah), atau seorang naik di atas pundak yang lain saling berpegangan tangan kemudian melompat ke laut, atau bermain bola dan berbagai permainan berat lainnya. Dalam salah satu permainan di pantai pada musim panas tahun 1952 Ahmad Yasin jatuh terjungkal kepalanya, seperti diceritakan Ahmad Yasin kepada keluarganya kala itu. Namun seperti diceritakan Dr. Abdul Aziz Rantisi, “Beliau mengalami musibah patah tulang leher saat bermain gulat dengan salah satu teman beliau, asy Syahid Abdullah Shiyam (Komandan Perang “Khalda” Beirut tahun 1982 yang gugur dalam perang tersebut). Namun beliau menyembunyikan sebab-sebab terjadinya kecelakaan tersebut kepada keluarga beliau agar tidak timbul masalah antara keluarga beliau dan keluarga Shiyam. Ketika itu, beliau hanya berkata bahwa kecelakaan itu terjadi karena ia melompat di udara dan kemudian terjatuh dengan kepala terlebih dahulu. Baru pada tahun 1990 beliau bercerita yang sebenarnya kepadaku saat bersama dalam satu pernjara.
”Setelah empat puluh hari lehernya digips, ternyata ia harus menjalani sisa hidupnya dalam keadaan lumpuh. Selain lumpuh penuh, mata bagian kanannya buta setelah ia dipukul dalam penjara Israel oleh dinas intelijen Israel. Mata kirinya juga tidak dapat melihat banyak. Selain itu, masih ada beberapa penyakit fisik lainnya yang menimpa beliau.  Namun semua ini tidak menghalanginya untuk berjuang.
Masa Perjuangan
Usai menamatkan sekolah menengahnya pada 1958, Yassin diberi kesempatan mengajar meski sebelumnya ditolak karena faktor kesehatan. Sebagian besar gajinya dari mengajar diserahkan untuk keluarganya. Ketika berusia duapuluh tahun, Yassin ikut berdemonstrasi di Gaza dalam rangka menolak serangan Israel ke Mesir pada tahun 1956. Saat itulah, tampak kepiawaian berorasi dan berorganisasi tampak.  Bersama teman-temannya, ia menyerukan untuk menolak campur tangan dunia internasional dan menegaskan kemestian kembalinya pasukan Mesir ke wilayah ini.
Lidah Yassin yang tajam membuat bintangnya meroket di kalangan aktivis dakwah di Gaza. Hal ini membuat intelijen Mesir menangkapnya pada tahun 1965 yang merupakan kelanjutan dari penangkapan besar-besaran yang ditujukan kepada aktivis Ikhwanul Muslimin. Ia dikurung selama sebulan, lalu dilepaskan setelah terbukti tidak bersalah. Tentang pengalamannya di penjara, pemimpin spritual HAMAS ini menuturkan, “Penjara makin menegaskan jiwaku dalam membenci kezaliman.”
Setelah kekalahan pasukan gabungan negara-negara Arab pada perang 1967, yang membuat Israel mencamplok seluruh tanah Palestina termasuk Jalur Gaza, Yassin terus memompakan semangat jihad kaum Muslimin dari atas mimbar Masjid Al-Abbasi. Ia juga ikut bergiat dalam kegiatan pengumpulan dana bagi para keluarga syuhada maupun yang ditangkap. Tak lama kemudian, Yassin terpilih menjadi Ketua Lembaga Islam di Gaza. Yassin banyak berinteraksi dengan pemikiran Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Ustadz Hasan Al-Banna pada tahun 1928 di Mesir.
Aktivitas dakwah Syaikh Yasin mengusik zionis. Akibatnya, pemerintah memerintahkan untuk menangkapnya pada tahun 1982 dengan tuduhan membentuk lembaga militer dan terlibat dalam pengumpulan senjata. Ia divonis penjara selama 13 tahun, namun baru tiga tahun kemudian ia dilepaskan dalam proses imbal lepas tawanan antara Israel dan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina.
Pada tahun 1987, bersama sejumlah aktivis dakwah Ikhwanul Muslimin di Jalur Gaza, Yassin mendirikan Harakah Al-Muqawamah AL-Islamiyyah yang sering disingkat dengan HAMAS. Gerakan ini berperan penting bagi meletusnya Intifadhah I atau juga dikenal dengan istilah “Intifhadah Masjid”.
Sejak meletusnya Intifadhah, penjajah Zionis berpikir keras untuk menghentikan aktivitas Syaikh Yasin. Maka pada 1988, rumahnya diserbu, digeledah dan dirinya terancam diusir ke Libanon. Banyaknya tentara Israel yang tewas membuat Israel kembali menangkapnya pada 18 Mei 1989 bersama ratusan aktivis HAMAS lainnya. Pada 16 Oktober 1991, pengadilan militer Israel memvonisnya dengan penjara seumur hidup. Yasin dituduh mendorong penangkapan dan pembunuhan terhadap tentara Israel di samping mendirikan organisasi HAMAS.
Sejumlah operasi digelar oleh Brigade Izzuddin Al-Qassam, sayap militer HAMAS demi membebaskan Syaikh Yassin namun gagal. Yassin akhirnya kembali menghirup udara kebebasan, setelah proses tukar-menukar pada 1 Oktober 1997 antara kerajaan Yordania dan Israel. Dua agen Mossad diserahkan kepada Israel sebagai imbalan pembebasan Syaikh Ahmad Yasin. Sejak saat itu, singa tua ini kembali ke medan jihad Palestina, memimpin kelompok perjuangan HAMAS, hingga syahid menjemputnya.
Syaikh Yassin dan Anak-anak
Syaikh Ahmad Yassin terkenal karena rasa humorisnya dan kebaikannya kepada anak-anak di Gaza. Dia mencintai dan bersimpati dengan anak-anak tersebut. Anak-anak Gaza bahkan menganggap Syaikh Yassin seperti ayah mereka sendiri yang lembut dalam mendidik mereka.
Syaikh Yassin sering merawat dan mengajar anak-anak Palestina tentang pelajaran-pelajaran agama dan tentang kehidupan mereka sehari-hari. Dan anak-anak muda tersebut sekarang tumbuh dalam bimbingan serta pendidikan iman dan keislaman lewat tangan Syaikh Yassin yang lumpuh, pendiri Gerakan Perlawanan Islam di Palestina Hamas.
Musbah Shaghnuby (15 tahun), sangat ingat kenangan ketika ia waktu masih berusia 8 tahun, Syaikh Yassin sering memanjakan dia dan anak-anak di lingkungannya. Mereka menganggap Syaikh Yassin sebagai ayah yang penuh kasih sayang terhadap mereka, Musbah mengatakan: “Semoga Allah memberkati dia, dia adalah ayah dari semua orang Palestina dan seorang kakek bagi anak-anak mereka”. Dia menambahkan: “kami sering mengiringi Syaikh Yassin baik di masjid ataupun di rumahnya yang sederhana, dan ia sangat menghargai kami ketika kami shalat Subuh di masjid dan mau menghafal Al-Qur’an”.
Musbah melanjutkan: “Terus terang, saya tidak terlalu suka mendengarkan khotbah kecuali khutbah atau ceramah dari Syaikh Yassin, bukan semata-mata karena dia Syaikh Yassin, tetapi karena kata-kata yang ia sampaikan memang berasal dari hati dan penuh dengan kata-kata yang membangkitkan semangat dan menyenangkan. Syaikh Yasin sering menyerukan kepada orang-orang untuk rajin belajar dengan ketekunan, serta terus menambah ilmu pengetahuan “.
Kesyahidannya
Abil Qadir Abdil Aal, seorang pemuda 19 tahun yang tinggal di dekat rumah Syaikh Yassin, mengatakan : “Saya bersama Syaikh Yassin beberapa saat sebelum ia syahid ketika kami shalat subuh bersama di kompleks Masjid Islam yang dekat dengan rumah kami. Beberapa menit setelah shalat subuh berakhir, Syaikh Yassin meminta semua anak muda di dalam masjid untuk segera pulang ke rumah mereka masing-masing, sehingga merekapun meninggalkan masjid. Begitu mereka tiba di rumah mereka, mereka terkejut dengan suara bom yang ternyata menargetkan tubuh lumpuh Syaikh Yassin”.
Abdiel Aal menyebutkan beberapa kegiatan yang sering Syaikh Yassin lakukan di komplek Masjid Islam di dekat rumahnya: “Syaikh Yassin sering mendorong kami sebagai anak-anak muda untuk rajin berlatih olahraga, ia sangat menghargai kami.”
Selain itu, ia juga sering mengatur kegiatan-kegiatan yang memotivasi para pemuda dan anak-anak untuk datang ke masjid serta mendorong para anak muda untuk lebih bertanggung jawab. Ia sangat bermurah hati dan tidak pernah menolak setiap pengemis yang mendekatinya. Ia juga mencintai Jihad dan perlawanan untuk membebaskan Palestina dari pendudukan zionis Israel.”
Di saat-saat sebelum Syaikh Yassin terbunuh, sambil menangis Abdil Aal mengatakan: “Saya sedang duduk bersama sepupu saya, asy syahid Amir Abid Aal, dan asy syahid Mu’min Al Yazuri yang ikut syahid bersama dengan Syaikh Yassin. Syaikh Yassin bertanya kepada mereka: “Bagaimana cuaca di luar?” Lalu salah seorang dari mereka menjawab: “cuaca terlalu dingin. Jadi, jangan keluar dulu nanti malah menjadi ‘sakit’. Ini merupakan upaya para anak muda untuk mencegah Syaikh keluar dari masjid, agar pesawat Israel tidak bisa menyerangnya. “Saya berkata kepada Syaikh: “Langit penuh dengan pesawat Israel dan situasi sangat berbahaya. Syaikh Yassin dengan tenang menjawab: “Anakku ..Tak ada yang bisa lolos dari takdir-Nya “. Anak Palestina itu mengatakan bahwa Syaikh meminta semua anak muda yang berada di masjid untuk segera pulang ke rumah mereka masing-masing demi keselamatan mereka.
Syaikh kemudian menunggu sampai semua dari mereka pulang ke rumah mereka masing-masing, kecuali Mu’min Al Yazouri, Amir Abid Aal dan pengawal yang tinggal bersamanya. Lalu, kemudian ketika mereka keluar dari masjid, tidak lama kemudian pesawat-pesawat Zionis menyerang mereka. Syaikh Yassin syahid (insyaAllah) bersama dengan teman-temannya, Mu’min dan Amir.
“Kami semua sangat sedih oleh kematian Syaikh Yassin. Saya mencintainya lebih dari keluarga saya sendiri. Saya menganggap dirinya sebagai seorang kakek, pemimpin dan panutan. Saya tidak melihat dan sepertinya tidak akan pernah melihat orang yang lebih baik daripada dia saat ini.” Musbah Shaghnuby (15 tahun) seorang pemuda palestina.
Syaikh Yassin adalah ikon keIslaman, nasional dan sosial yang akan tetap terukir dalam memori semua orang Palestina dan umat Muslim di seluruh dunia, khususnya mereka yang dekat dengannya saat mereka mengingat dirinya yang telah mempengaruhi diri mereka dalam semua aspek kehidupan. Semoga Allah memberkati Syaikh Yassin dan para pemimpin rakyat Palestina dan umat Muslim di dunia untuk mengikuti jalan-Nya.

SEJARAH HIDUP HASAN ALBANNA

hasan-al-banna
Hasan Al-Banna dilahirkan di kota Mahmudiyah, Distrik Bahirah Mesir pada bulan Oktober 1906 M. Orangtua beliau adalah seorang ulama besar pada masanya, yaitu Syaikh Ahmad Abdur Rahman Al-Banna, yang banyak berkarya di bidang ulumul…
hadits. Diantara karyanya yang terkenal adalah kitab “Al Fath Ar Rabbany li Tartib Musnad Al-Imam Ahmad”. Disamping menulis kitab-kitab hadits, beliau juga bekerja memperbaiki jam.
Sejak dini Hasan Al-Banna sudah ditempa oleh keluarganya yang taat beragama untuk meraih dan memperdalam ilmu di berbagai tempat dan majelis ilmu. Pertama kali beliau menggali ilmu di Madrasah Ar Rasyad, kemudian melanjutkan di Madrasah ‘Idadiyah di kota Mahmudiyah tempat beliau dilahirkan.
Pada usianya yang masih muda, Hasan Al-Banna sudah memiliki perhatian yang besar terhadap persoalan da’wah. Ia pun mampu beraktifitas untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Bersama teman-temannya di sekolah, dibentuklah perkumpulan “Akhlaq Adabiyah” dan “Al-Man’il Muharramat”. Nampaknya sejak muda ia memang menginginkan da’wah Islamiyah tegak dan kokoh.
Pada tahun 1920 Hasan Al-Banna melanjutkan pendidikannya di Darul Mu’allimin Damanhur, hingga menyelesaikan hafalan Qur’an diusianya yang belum genap 14 tahun. Beliaupun aktif dalam pergerakan melawan penjajah.
Pada tahun 1923 ia melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum Kairo. Disinilah ia banyak mendapatkan wawasan yang luas dan mendalam. Pendidikannya di Darul Ulum diselesaikan pada tahun 1927 M, dengan hasil yang memuaskan, menduduki rangking pertama di Darul Ulum dan rangking kelima di seluruh Mesir dalam usianya yang baru menginjak 21 tahun.
Semenjak di Darul Ulum Kairo, Hasan Al-Banna mendapatkan cakrawala berfikir lebih luas dan wawasan yang mendalam dan semakin giat dalam amal islami, bersama kawan-kawannya ia melaksanakan da’wah di berbagai tempat, baik di perkumpulan-perkumpulan, kedai kopi ataupun di klab-klab.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Darul Ulum Kairo, ia bekerja sebagai guru Ibtidaiyah (setingkat SD) di Ismailiyah meskipun mendapatkan penawaran untuk melanjutkan pendidikan, namun beliau lebih menyenangi menjadi guru di Ismailiyah hingga 19 tahun beliau berkhidmat mengajar disana.
Hasan Al-Banna menikah dengan putri salah seorang tokoh Ismailiyah Al Haj Husain As Shuly pada malam 27 Ramadhan 1351 H. Ia kemudian dikaruniai 5 ornag anak, 4 orang anak perempuan yaitu Wafa’, Sinai, Raja dan Hajar. Adapun anak lelaki beliau adalah Ahmad Saiful Islam. Hasan Al-Banna memberikan perhatian yang besar pada pendidikan keluarganya dengan adab dan akhlaq Islam. Hasil perhatiannya terhadap keluarga dapat kita lihat pada anak beliau yang sangat dihormati Ahmad Saiful Islam.
Hal-hal yang mendasari berdirinya da’wah.
Perpindahan Al Banna dari tempat kelahirannya Mahmudiyah ke Damanhur kemudian ke Kairo membuatnya banyak mengetahui permasalahan situasi dan kondisi umat Islam.
Dimasa beliau tinggal di Mahmudiyah, daerah yang tenang dan menjaga tradisi Islam dan ajarannya, belum terlintas di benaknya bahwa di ibukota Mesir, Kairo, banyak terjadi penyimpangan dan kerusakan yang menurutnya sangat parah. Belum pernah terbayangkan olehnya bahwa para penulis terkemuka, ulama dan para pakar ada yang bekerja demi kepentingan musuh Islam. Ulama sibuk dengan urusan pribadi dan masyarakat umum dalam keadaan bodoh.
Surat kabar, majalah dan sarana informasi lainnya banyak memuat dan menyebarkan pemikiran yang bertentangan dengan ajaran Islam dan pornografi. Ia pun melihat kemungkaran di mimbar politik, masing-masing partai hanya mementingkan golongannya dan cenderung menjadi ajang permusuhan dan perpecahan ummat.
Masyarakat cenderung tergiring menjauhi nilai-nilai luhur, merasa asing dengan nilai-nilai Islam. Begitupun di Perguruan Tinggi yang tadinya disiapkan untuk menjadi lampu penerang, pusat kebangkitan dan mimbar peradaban, malah menjadi sumber malapetaka, pusat kerusakan dan alat penghancur sehingga banyak orang memahami bahwa Perguruan Tinggi dan Universitas adalah tempat revolusi perlawanan terhadap akhlaq, menentang agama dan memusuhi tradisi yang baik.
Kondisi muslimin di luar Mesir pun sangat mengelisahkannya. Turki yang tadinya menjadi pusat Khilafah Islamiyah, pada tahun 1924 M sudah berubah menjadi negara sekuler. Selain Mesir, negeri-negeri Islam di seluruh penjuru bumi saat ini kebanyakan dalam keadaan terjajah, walhasil perekonomian ummat Islam pun dikuasai oleh orang-orang asing kaum penjajah.
Semua itu disaksikan oleh Hasan Al-Banna, sementara kondisi dan situasi semakin memburuk sehingga menyusahkannya dan ia menjadi gelisah. Sampai beliau tidak dapat tidur selama 15 hari di bulan Ramadhan. Akan tetapi ia tidak putus asa, tidak menyerah bahkan semakin bersemangat dan bertekad untuk berbuat sesuatu agar bisa mengembalikan Khilafah Islamiyah, mengusir penjajah dan mengangkat martabat. Dengan kesungguhan, kerja yang tak mengenal lelah dan gerakan yang berkesinambungan, ia yakin cita-cita luhur itu dapat tercapai.
Hasan Al-Banna mulai melakukan aktifitasnya dengan menghubungi para pemimpin, tokoh masyarakat dan para ulama. Ia ajak mereka untuk membendung arus kerusakan itu. Ia mendatangi Syeik Ad Dajawi salah seorang ulama Mesir terkemuka, lalu dijelaskannya permasalahan umat kepada Syeikh tersebut. Namun Syeikh ternyata hanya memperlihatkan keprihatinannya saja, menurutnya tidak ada sesuatu yang dapat dilakukan saat ini dengan alasan bahwa Mesir sedang dijajah Inggris yang memiliki kekuatan dan persenjataan yang dapat menghadapi gerakan apapun yang menentangnya.
Hasan Al Banna tidak ridho dan tidak puas dengan jawaban Ad Dajawi itu dan membuatnya nyaris lemah semangat. Kemudian Syeikh Ad Dajawi mengajaknya berziarah ke rumah Syeikh Muhammad Saad yang merupakan salah satu ulama terkemuka juga, disana banyak yang hadir selain Syeikh Ad Dajawi, Syeikh Muhammad Saad dan Hasan Al-Banna. Kemudian Al Banna menjelaskan lagi permasalahan ummat namun Syeikh Ad Dajawi memintanya untuk berfikir, tapi Hasan Al Banna seorang pemuda yang bersemangat tinggi berpendapat waktu itu bukan saatnya untuk berfikir tapi untuk berbuat.
Syeikh Muhammad Saad pada waktu itu menjamu para tamunya dengan kue-kue khas yang dibuat untuk bulan Ramadhan. Para tamu asyik menikmati makan dan minuman yang disuguhkan. Pemandangan ini membuat Hasan Al-Banna semakin bersedih dan prihatin. Ia memahami bahwa mereka dalam keadaan lalai dari kondisi Islam, maka ia berusaha menyadarkan mereka seraya berkata : “Wahai Syeikh! Islam sedang diperangi dengan dahsyat, sementara para tokoh, pelindung dan para pemimpin ummat sedang menghabiskan waktunya dengan kenikmatan seperti ini, apakah kalian mengira bahwa Allah tidak akan menghisab apa yang kalian sedang lakukan? Jika kalian tahu disana ada pemimpin Islam dan pelindungnya selain kalian, tunjukilah saya kepada mereka agar saya mendatangi mereka, mudah-mudahan saya dapati apa yang tidak ada pada kalian”.
Perkataan Hasan Al-Banna menyentuh hati Syeikh Muhammad Saad, sehingga membuatnya menangis, hadirin yang lainpun turut menangis. Lalu Syeikh bertanya : “Apa yang mesti saya lakukan wahai Hasan …?”
Hasan Al-Banna kemudian mengusulkan agar Syeikh mengumpulkan nama-nama para ulama dan zuama serta para pemuka, lalu mereka diundang untuk suatu pertemuan dalam rangka memikirkan dan memusyawarahkan apa-apa saja yang harus mereka lakukan. Sekalipun hanya menerbitkan majalah mingguan untuk mengimbangi majalah-majalah yang ada atau membentuk perkumpulan yang dapat menampung para pemuda.
Syeikh setuju atas usulan Hasan Al-Banna itu dan ia mencatat sebagian nama ulama terkemuka seperti : Syeikh Yusuf Ad Dajawi, Syeikh Muhammad Khudlori Husain, Syeikh Abdul Aziz Jawis, Syeikh Abdul Wahab Najjar, Syeikh Muhammad Khudlori, Syeikh Muhammad Ahmad Ibrahim, Syeikh Abdul Aziz Khuli, dan Syeikh Muhammad Rasyid Ridho.
Sementara dari kalangan tokoh terkemuka, seperti : Ahmad Taimur Pasya, Nasim Pasya, Abu Bakar Yahya Pasya, Abdul Aziz Muhammad Pasya, Mutawalli Ghonim Bik, dan Abdul Hamid Said Bik.
Mereka semua diundang untuk suatu pertemuan dan terlaksanalah pertemuan demi pertemuan, sehingga dapat menerbitkan majalah “Al-Fath” yang dipimpin oleh As-Sayid Muhibuddin Khattib dengan pimpinan redaksinya Syeikh Abdul Baki Surur. Perkumpulan dan kegiatan ini terus berlangsung sampai Hasan Al Banna lulus kuliah dari Darul Ulum dan terus menggerakkan beberapa orang pemuda sehingga terbentuklah Jam’iyyah Syubanul Muslimin.
Hasan Al Banna juga berhasil mengumpulkan beberapa ulama dan tokoh masyarakat terkemuka, dan terbentuklah Jama’ah Islamiyah yang menyeru untuk menghadapi arus gelombang kehidupan materialis, membatasi kegiatan maksiat dan kekufuran.
Akan tetapi Hasan Al Banna melihat aktifitas jama’ah itu tidak cukup, dimana kegiatannya terbatas pada menyampaikan ceramah atau nasehat di masjid-masjid dan menulis artikel di majalah-majalah, akan tetapi siapa yang menyampaikan da’wah kepada orang-orang yang tidak ke masjid yang sebenarnya mereka lebih berhak dari pada orang-orang yang aktif ke masjid. Siapa yang menyampaikan da’wah kepada orang-orang yang tidak membaca koran dan majalah. Dengan demikian harus adanya kader yang siap berda’wah ke berbagai lapisan masyarakat.
Hasan Al-Banna melihat bahwa yang dapat melaksanakan tugas berat itu adalah para mahasiswa Al-Azhar dan Darul Ulum. Ia kemudian mengumpulkan beberapa orang rekannya untuk berlatih berpidato, khotbah di masjid, berda’wah di warung-warung kopi dan tempat-tempat umum, kemudian pergi ke kampung-kampung. Diantara mereka yg terlibat dalam aktivitas ini adalah Syeikh Muhammad Madkur, Syeikh Hamid Askari dan Syeikh Ahmad Abdul Hamid.
Setelah mereka berlatih dan siap terjun ke lapangan, Al Banna mengajak rekan-rekannya untuk berda’wah ke warung-warung kopi dengan memperhatikan tiga hal : Memilih tema yang sesuai; Sistem penyajian yang menarik; Memperhatikan waktu dan jangan sampai membosankan.
Peristiwa berdirinya Jama’ah Al-Ikhwanul Muslimin.
Pada bulan September tahun 1927 M, Hasan Al Banna diangkat menjadi guru SD di Kota Isma’iliyah, disanalah beliau memulai da’wahnya, di warung-warung kopi kemudian pindah ke masjid. Da’wah yang dilakukannya di warung-warung kopi ini bukan pengalaman yang pertama baginya, tapi beliau sudah terbiasa da’wah di tempat-tempat seperti ini, ketika beliau masih mahasiswa di Darul Ulum, Kairo.
Da’wah Hasan Al Banna mendapat sambutan dari para pengunjung warung-warung kopi, sehingga sebagian diantara mereka bertanya kepadanya tentang apa yang harus dilakukan demi agama dan tanah air.
Setelah beberapa lama berda’wah di warung-warung kopi kemudian Hasan Al Banna pindah dari warung kopi ke mushalla (Zawiyah). Di Zawiyah inilah beliau berbicara dan mengajarkan praktek ibadah, dan meminta kepada mereka agar meninggalkan kebiasaan hidup boros bermewah-mewahan. Para pendengar menyambutnya dengan baik.
Hasan Al Banna juga memperluas interaksinya kepada seluruh unsur yang berpengaruh terhadap masyarakat, yaitu para ulama, Syaikh kelompok sufi, tokoh masyarakat (wujaha), dan berbagai perkumpulan-perkumpulan.
Pada bulan Dzul Qo’dah tahun 1347 H atau bulan Maret 1928 M, datanglah 6 orang laki-laki yang tertarik dengan da’wah Hasan Al-Banna, mereka adalah: Hafiz Abdul Hamid (tukang bangunan), Ahmad Al Hushor (tukang cukur), Fuad Ibrahim (tukang gosok pakaian), Ismail Izz (penjaga kebun), Zaki Al Maghribi (tukang rental dan bengkel sepeda), dan Abdurrahman Hasbullah (supir).
Mereka berbicara kepada Hasan Al-Banna tentang apa yang harus mereka lakukan demi agama dan mereka menawarkan sebagian harta milik mereka yang sedikit. Mereka pun meminta Hasan Al-Banna menjadi pimpinan mereka. Lalu mereka berbai’at kepadanya untuk bekerja demi Islam dan mereka bermusyawarah tentang nama perkumpulan mereka. Imam Al Banna berkata : “Kita ikhwah dalam berkhidmat untuk Islam, dengan demikian kita Al Ikhwanul Muslimin”.
Kemudian mereka menjadikan kamar di suatu rumah sewaan yang sangat sederhana sebagai “Kantor Jama’ah” dengan mengambil nama Madrosah At Tahzab. Disanalah Hasan Al-Banna mulai meletakkan manhaj tarbawi bersama pengikut-pengikutnya, manhaj tarbawi pada waktu itu adalah :
1. Al-Qur’anul Karim (tilawah dan hafalan).
2. As Sunnah An Nabawiyah (menghafal sejumlah hadits).
3. Pelatihan khutbah.
4. Pelatihan mengajar untuk umum.
Setelah beberapa bulan jumlah pengikut jama’ah menjadi 76 orang, kemudian terus bertambah.Dan mereka mendermakan harta mereka untuk da’wah sampai dapat membeli sebidang tanah untuk dibangun diatasnya markas jama’ah: Darul Ikhwanul Muslimin, terdiri dari 1 masjid, 1 sekolah untuk putra, 1 sekolah untuk putri, dan nadi (tempat pertemuan) ikhwan.
Pertumbuhan pesat da’wah ikhwan sejak awal.
Pada bulan Oktober tahun 1932 M, Hasan Al-Banna dimutasi kerja oleh Pemerintah ke Kairo sebagai guru di Madrasah Abbas I, Distrik Sabtiah. Perpindahan kerja ini menjadi peluang baginya untuk membawa da’wah ke Kairo ibukota Mesir.
Di Kairo Hasan Al Banna dan ikhwan memilih rumah di jalan Nafi No.24 sebagai Markaz Amm, dan ia tinggal bertempat di lantai atas selama 7 tahun da’wah di Kairo dari tahun 1932 sampai 1939 M.
Markaz Amm mengalami beberapa kali pindah :
1. Di jalan Nafi No.24
2. Di rumah di Suqus Silah
3. Di jalan Syamasyiji No.5
4. Di jalan Nashiriyah No.13
5. Di jalan Medan Atobah No.5 di perumahan wakaf
6. Di jalan Ahmad Bik Umar di Hilmiyah
Di Kairo disamping banyaknya partai politik yang bersaing untuk menjadi partai yang berkuasa, didapati pula banyak organisasi Islam dan non Islam.
Di tengah-tengah kehidupan Kairo, da’wah ikhwan terus meluncur membuktikan keberadaannya, efektifitasnya dan menarik banyak pengikut dan pendukungnya serta membuka syu’bah-syu’bah baru.
Da’wah di Kairo belum sampai satu tahun Hasan Al-Banna telah mampu menyebarkan da’wah di seluruh kota Kairo dan telah membuka syu’bah-syu’bah baru lebih dari 50 kabupaten, dimana Ia mendatangi perkampungan negeri Mesir untuk berda’wah tidak mengenal letih, apalagi malas, hal itu dilakukannya disaat-saat musim liburan sekolah.

Sekilas pintas pribadi Mursyid

Profesi dan pekerjaannya.
Hasan Al-Banna adalah guru SD (Ibtidaiyah), beliau disiplin melaksanakan tugasnya dengan optimal dan maksimal, Ia belum pernah terlambat datang ke sekolah (tempat kerja), karena merasakan ni’mat dan kebahagiaan dalam bekerja. Ia meyakini bahwa Allah telah menciptakannya menjadi pendidik.
Hasan Al-Banna disenangi dan dihormati oleh murid-murid, para guru, kepala sekolah dan karyawan. Mereka pun mencintai da’wah Al Banna. Mereka berkeinginan membantunya, agar mempunyai banyak waktu untuk mengemban tugas da’wah, akan tetapi beliau bersikeras melaksanakan tugasnya dengan sempurna tanpa membebani orang lain.
Bila ada ikhwan yang menelponnya ketika dia sedang mengajar di kelas, kemudian petugas memberitahukannya ada orang yang menelponnya, lalu ia berpesan kepada petugas tersebut : “Katakan kepadanya, saya sedang mengajar dan tidak dapat meninggalkan kelas sebelum selesai jam pelajaran”.
Tugas Rumah.
Hasan Al Banna melaksanakan tugasnya di rumah sebagai kepala keluarga, suami, ayah dengan baik, tidak pernah terjadi pertengkaran dalam rumahnya. Ia memberikan perhatian yang penuh kepada anak-anaknya, juga membantu pekerjaan istrinya di rumah sekalipun dengan kesibukan da’wahnya. Ia mengetahui kebutuhan rumah, dan tiap hari mencatat kebutuhan rumah tangga, sehingga ia mengetahui kapan disimpan barang seperti bawang, minyak dan lain-lain.
Aktifitas Da’wah.
Da’wah bagi Hasan Al Banna menjadi alasan hidupnya, dan semua kehidupannya da’wah, siang dan malam kesibukannya adalah da’wah. Da’wah memenuhi hati dan pikirannya, sehingga da’wah terlihat jelas pada pribadinya, bila berbicara, berbicara dengan da’wah dan untuk da’wah. Dan bila diam, diamnya da’wah, bila bergerak demi da’wah, cinta dan bencinya karena da’wah dan bila tertawa atau menangis karena da’wah.
Hasan Al Banna tidak hidup untuk dirinya sendiri, tidak menyimpan uang, tenaga waktu dan kesehatannya kecuali untuk da’wah, semua gajinya dijadikan untuk da’wah, tidak dikurangi kecuali untuk kepentingan keluarga yang pokok, Ia mengambil standar minimal/terendah untuk hidupnya. Hasan Al Banna menjadikan hidupnya untuk da’wah, ucapan, diam, gerak, bangun, tidur, suka, benci, tulisan, bacaan, pikirannya semua untuk Islam.
Ranjau-Ranjau Sepanjang Perjalanan Da’wah Imam Hasan Al-Banna.
Ketika dua aktifis Ikhwan di Thontho, Muhammad Abdussalam dan Jamaluddin Fakih dituduh oleh rezim sebagai pelopor gerakan subversib dan ini adalah awal mihnah yang menimpa jamaah maka Hasan Al-Banna segera mengadakan lobi dengan lembaga bantuan hukum untuk mengadakan pembelaan secara maksimal dan mengerahkan seluruh ikhwan agar memiliki perhatian serta mengikuti persidangan-persidangan yang berlangsung bahkan Ia sendiripun selalu mengikuti persidangan-persidangan yang berlangsung dan sekaligus membantah tuduhan yang ditujukan kepada dua aktifis maupun kepada jamaah dengan lewat mass media internal maupun external.
Dengan upaya yang maksimal dan dukungan seluruh fihak akhirnya kedua aktifis dinyatakan bersih dari tuduhan. Keprihatinan Hasan Al Banna terhadap peristiwa itu terungkap: “Sesungguhnya masalah ini membikin aku gelisah untuk tidur, karena aku tahu bahwa hal ini benar-benar telah dipersiapkan secara matang, mereka memiliki dan menguasai seluruh perangkatnya, mulai dari birokrasi, hakim, hingga saksi-saksi palsu dan apabila mereka berhasil meringkus kedua aktifis kita kedalam penjara dengan tuduhan subversif, maka da’wah al ikhwan akan punah dimata masyarakat”.
Memang Hasan Al Banna mengajarkan kepada Al-Ikhwan untuk menjadi generasi yang pemberani dalam kebenaran, menganggap para penjajah adalah musuh dan bentuk perbudakan yang paling buruk sepanjang sejarah manusia, mereka begitu semangat dan berebut untuk mendapatkan izin menuju Palestina untuk meraih syahadah ketika DK PBB pada tahun 1948 secara resmi membagi tanah Palestina menjadi dua. Hasan Al-Banna sendiri dalam pidatonya dimuka khalayak ramai di hotel intercontinental mengatakan, “Pembagian Palestina menjadi dua adalah tanda bahwa dunia telah tidak waras”. Hal serupa juga pernah disampaikan kepada pemerintah Inggris lewat perwakilannya di Kairo tahun 1939 M, bahwa ummat Islam akan mempertahankan Palestina hingga titik darah terakhir.
Hasan Al-Banna juga seorang yang lembut hati, hidupnya hanya untuk perhatian da’wah dan para ikhwannya, ketika seorang akhwat menderita sakit, beliau sendiri menghubungi dokter dan ketika sang dokter sedang menulis resep obat lalu beliau mencolek kepada Mahmud Abdul Halim untuk meminjam uang untuk menebus obat karena tak sepeser junaihpun ada ditangannya.
Perlawanan para ikhwan menghadapi penjajah Inggris atas intervensinya terhadap kota Isma’iliyah awal perang dunia kedua 1939 M merupakan bukti keberanian mereka. Melihat keberhasilan Hasan Al Banna dengan jamaahnya yang cukup gemilang, dimana pada waktu yang relatif singkat fikroh ikhwan telah mampu mempengaruhi dan mewarnai di berbagai bidang ekonomi, sosial politik dan keagamaan, khususnya sikap masyarakat luas terhadap Palestina dan penjajah, maka Inggrispun sangat gerah terhadap Hasan Al Banna dan sangat berkepentingan untuk membunuhnya dan membubarkan jamaahnya.
Untuk merealisasikan mimpi Inggris itu pada tanggal 10 Nopember 1948 M tiga segitiga setan mengadakan pertemuan secara rahasia, mereka adalah Inggris, Amerika dan Perancis di Paid, memutuskan agar Al-Ikhwan Al-Muslimun segera dibubarkan. Sebulan kemudian tepat pada tanggal 8 Desember 1948 datang SK militer yang berisikan pembubaran terhadap jamaah.
Rupanya pembubaran jamaah tidak berdampak terhadap aktifitas dan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat, justru pembelaan dari masyarakat luas semakin kentara dari hari ke hari, kewibawaan dan kemampuan Hasan Al Banna merekrut masyarakat luas sangat diakui lawannya, kemampuan membangkitkan semangat ummat, membuka hati yang tertutup, menghimpun kekuatan arus bawah sangat ditakuti lawan. Maka tidak ada lagi pilihan lain, kecuali harus merencanakan sebuah makar yang lebih besar yang belum pernah terpikir di benak mereka yaitu dengan membunuh pendirinya.
Sejak itu rezim Faruq benar-benar memperhitungkan langkah untuk menguasai Hasan Al Banna :
1. Dengan memenjarakan seluruh anggota Al-Ikhwan dan membiarkan Hasan Al Banna seorang diri agar masyarakat luas menganggap bahwa rezim masih memiliki rasa tolerir terhadapnya, padahal itu sebuah siksaan batin, setiap harinya hanya tangisan ribuan anak kecil dan rintihan ibu-ibu yang didengarnya, menengok kanan dan kiri tidak ada yang peduli seakan-akan seluruh rakyat telah diintimidasi oleh rezim, takut untuk melakukan sebuah kebaikan, siapa bersedekah akan mati, siapa menolong orang yang kelaparan dianggap pemberontak. Hasan Al-Banna hanya mampu mengumpulkan sebesar 150 junaih Mesir (+ $.140) setelah upaya sana sini dan itupun hasil hutang dari salah seorang teman.
2. Setelah perasaan yang mencekam benar-benar menyelimuti seluruh rakyat Mesir, polisi intel segera memenjarakan adik kandung Hasan Al Banna, Abdul Basith yang merupakan anggota polisi, padahal adiknya ini bukan anggota Al-Ikhwan. Hal itu dilakukan untuk mempermudah penangkapan terhadap Hasan Al-Banna kapan mereka menginginkannya. Sebenarnya Hasan Al-Banna telah mencium makar terhadap dirinya. Namun justru keberanian dan perasaan tidak takut mati semakin lebih nampak lagi, terutama setelah di suatu malam ia mimpi bertemu dengan Sayyidina Umar bin Khattab yang berkata padanya: “Wahai Hasan, kau akan dibunuh!”. Ketika Hasan Al-Banna mengajukan untuk tinggal di luar kota Kairo bersama saudaranyapun tidak diizinkan, hal itu semakin memperjelas makar yang dirancang oleh rezim untuk meringkusnya secara perlahan.
3. Setelah seluruh persenjataan ikhwan, dan kekayaannya termasuk pistol dan mobil pribadi Hasan Al-Banna yang statusnya pinjaman itu disita oleh penguasa yang serakah, maka tinggal episode yang terakhir. Mereka merekayasa sebuah pertemuan antara Hasan Al-Banna dengan Mohammad An Naqhi (salah satu pengurus Dar Asy-Syubban) pada hari Jum’at tanggal 11 Desember 1949 M pukul 17.00. Namun hingga pukul 20.00 masalah yang diagendakan belum ada kejelasan yaitu salah seorang menteri yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah Ikhwan, lalu pulanglah ia dengan menantunya Ustadz Mansur dengan komitmen akan datang kembali esok harinya, namun tiba-tiba ia dapati suasana yang sungguh lain, di jalan protokol “Quin Ramses” yang biasanya ramai dengan hiruk pikuk lalu lintas lalu lalang manusia saat itu tak sebuah mobil dan seorangpun yang lewat kecuali sebuah taxi yang menongkrong di depan gerbang pintu Dar Asy Syubban. Toko-toko dan rumah-rumah makan yang berdekatan juga sudah tutup. Kecurigaan semakin tinggi ketika baru akan melangkahkan kaki menuju jalan raya tiba-tiba seluruh lampu penerang jalan mati, saat itulah peluru api meluncur sebagian mengenainya dan peluru yang lain mengenai Ustadz Mansur. Namun Hasan Al-Banna masih kuat untuk naik sendiri menuju gedung Dar Asy Syubban memutar telepon untuk meminta pertolongan ambulance, meskipun demikian ia kemudian terlantar di salah satu kamar Rumah Sakit “Qosr Aini” karena tak seorangpun dari perawat atau dokter yang berani menolongnya sekalipun banyak dokter muslim yang ingin merawatnya, namun kepala RS tidak mengizinkan atas perintah kerajaan. Dering telepon tak henti-hentinya untuk meyakinkan kematian Hasan Al-Banna hingga ia menemui robbul izzah dengan kepahlawanannya.
Tepat hari Sabtu malam Minggu tanggal 12 Desember 1949 beliau pulang ke Rahmatullah. Terselimutilah di hari itu langit dunia dengan kesedihan yang mendalam karena kematiannya berarti hilangnya seorang pembela kebenaran penegak keadilan di tengah-tengah kelaliman.
Pagi harinya hari Minggu tanggal 12 Desember 1949 sampailah berita kematian kepada orang tuanya Syaikh Ahmad Al Banna. Yang lebih menyedihkan rezimpun tidak mengizinkan ummat Islam untuk merawat jenazahnya dan berta’ziyah ke rumah shohibul musibah. Untuk menunjukkan keangkuhan serta kedengkiannya terhadap Hasan Al-Banna mereka susun penjagaan militer secara ketat yang siap untuk bertempur dan tank-tank yang seakan-akan menghadapi sebuah pertempuran yang dahsyat. Tidak seorangpun diizinkan membawa jenazahnya menuju makam kecuali orang tuanya beserta kedua saudari perempuannya.
Jamaah Al-Ikhwan yang telah didirikan diatas genangan darah Hasan Al-Banna dan di ukir dengan darah para syuhada akankah ditunggu oleh ummat seluruh dunia sebagai pahlawan penegak kebenaran, pendobrak kebatilan dan pembawa bendera Khilafah Islamiyah? Jawabannya tentu tergantung kepada kualitas nilai dan pengorbanan para penerusnya.

SEJARAH HIDUP UMAR TILMISANI


1.      Masa Kecil dan Pertumbuhannya
Asal-usulnya kembali kepada wilayah Tilmisani di al-Jazaair. Lahir di kota Kairo pada tahun 1322 Hijriah, atau 1904 Masehi, di jalan Hausy Qadim di Al-Ghauriah. Kakek dan ayahnya bekerja sebagai pedagang pakaian dan batu mulia. Kakeknya adalah seorang salafi yang banyak mencetak buku-buku karya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab. Karena itu ia tumbuh dalam lingkungan yang jauh dari bid’ah.
Syeikh Umar Tilmisani belajar di Sekolah Ibtidaiyyah Jam’iyyah Khaeriyah, lalu melanjutkan di Sekolah Tsanawiyah al-Hilmiyah. Setelah itu, ia kuliah di Fakultas Hukum. Setelah menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1933, ia kemudian menyewa sebuah kantor advokat di jalan Syabiin al-Qanathir, dan bergabung dengan jamaah Ikhwanul Muslimin.
Ustadz Tilmisani adalah pengacara pertama yang bergabung dengan Ikhwan. Di sinilah ia mengerahkan usaha dan pikirannya demi membela jamaah ini. Ia juga adalah orang terdekat Imam Syahid yang kerap menemani beliau dalam perjalanan yang dilakukannya di wilayah Mesir atau di luar negeri. Imam Syahid juga sering meminta bantuan kepadanya dalam berbaga perkara.
Ustadz Umar Tilmisani menikah saat masih duduk di Sekolah Tsanawiyah Negeri, dan Istrinya wafat pada bulan Agustus 1979 setelah hidup bersamanya lebih dari setengah abad. Mereka dikarunia empat orang anak; Abid dan Abdul Fattah, serta dua orang anak perempuan.
Pekerjaan beliau sebagai pengacara tidak membuatnya lupa memperkaya dirinya dengan wawasan keislaman. Karena itu, ia banyak membaca dan menelaah berbagai jenis buku, seperti tafsir, hadits, fikih, sirah, sejarah dan biografi. Ia juga mengikuti dengan seksama berbagai konspirasi dan strategi musuh-musuh Islam di dalam dan luar Mesir, mengamati, mempelajari, menentukan caranya bersikap, cara menghadapinya dengan bijak dan nasehat yang baik. Ia juga berusaha menangkal propaganda yang mereka tiupkan, mendustakan ucapan-ucapannya, dan menepis kecurigaan mereka dengan sikap seorang mukmin penuh percaya diri yang mengetahui keunggulan yang dimilikinya, dan kelemahan yang ada pada lawan-lawannya. Bahwa tidak ada selain Allah yang dapat menolong, dan tak ada agama lain kecuali Islam.
Saya mengenalnya saat pertama kali tiba di Mesir untuk kuliah pada tahun 1369, bertepatan dengan tahun 1939, dimana kami bertemu dengan para tokoh dan petinggi Ikhwan setelah syahidnya Imam Hasan al-Banna, dan sebelum pemilihan mursyid kedua, ustadz Hasan al-Hudhaebi. Disana kami mendengar nasehat dan arahan yang disampaikan para tokoh Ikhwan.
Kami juga dapat merasakan kesopan-santunan ustadz Umar, kerendahan hatinya dan kasih sayangnya terhadap Ikhwan, khusunya para pemuda yang di dalam jiwa mereka bergelora semangat membara untuk segera memetik buah yang mereka tanam. Mereka juga berusaha melakukan pembalasan atas kezaliman yang terjadi atas diri Ikhwan. Namun ustadz Umar Tilmisani berwasiat agar mereka tetap bersabar, teguh pendirian, santun, tenang dan senantiasa mengharap pahala dan ganjaran Allah Azza wa Jalla.
2.      Janji Setia pada Diri Sendiri
Ustadz Umar Tilmisani meninggalkan jejak kebaikan bagi setiap orang yang pernah mengenalnya, atau bersentuhan dengannya. Ia dikaruniai kejernihan hati, dan kebersihan jiwa, kata-kata yang lembut, penampilan menawan, serta caranya berdialog dan berdebat yang menarik hati. Ia berkata tentang dirinya sendiri:
“Saya tidak pernah mengetahui bahwa sifat keras bersentuhan dengan prilaku yang kumiliki. Tidak ada keinginan untuk menang atas seorang pun. Karena itu, saya tidak merasa memiliki seorang musuh. Terkecuali mungkin karena pembelaan saya terhadap kebenaran. Atau karena saya menyeru manusia untuk mengamalkan kitabuLlah. Itu berarti bahwa permusuhan itu datang dari mereka sendiri dan bukan dariku. Saya telah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menyakiti seorang pun dengan kata-kata kasar, walau saya berbeda dan berselisih pendapat dengannya secara politik, bahkan walau pun mereka menyakitiku. Karena itu, tidak pernah terjadi benturan antara diriku dengan seorang pun karena faktor pribadi.”
Dari pernyataan ini kita dapat mengetahui bahwa tidak seorang pun meninggalkan kediaman Tilmisani kecuali ia membawa penghormatan dan penghargaan dari dalam dirinya dan rasa cinta kepada sang da’I mujahid ini. Demikian pula dengan mereka yang pernah menjadi murid Imam Syahid, keluar dari madrasahnya dan bergabung dalam jamaahnya, mengenalnya sebagai da’I yang tulus dan ikhlas.
3.      Akhlak dan Sifatnya
Syaikh Umar Tilmisani adalah sosok yang sangat pemalu. Sebagaimana disaksikan oleh setiap orang yang melihatnya dari dekat. Teman duduk dan kawan bercakapnya akan merasakan bahwa penderitaan berkepanjangan yang ia alami dalam gelapnya penjara berhasil menempa dirinya, sehingga ia tidak membiarkan ada celah sedikit pun dalam dirinya untuk sebuah hakikat yang tidak diyakininya. Beliau mendekam di balik penjara lebih selama 17 tahun. Bermula pada tahun 1948 (1368H), kemudian tahun 1954 (1373H), lalu pada tahun 1981 (1402H). Dan tak ada yang bertambah dalam dirinya saat menghadapi seluruh ujian dan cobaan itu kecuali kesabaran dan ketegaran.
Dalam wawancaranya dengan majalah al-Yamamah, yang terbit di Saudi Arabia, edisi tanggal 14 Januari 1982, Syaikh Umar Tilmisani berkata:
“Sesungguhnya tabiat dimana saya tumbuh di atasnya membuatku benci kepada kekerasan dengan segala bentuknya. Ini bukan hanya sebagai sikap politik. Tapi juga merupakan sikap pribadiku yang terkait erat dengan pembentukan jatidiriku. Bahkan ketika ada seseorang yang coba menganiaya diriku, maka saya sungguh tidak akan menyelesaikannya dengan kekerasan. Saya bisa saja menggunakan kekuatan untuk menciptakan perubahan. Namun demikian, saya takkan pernah melakukan itu dengan kekerasan.”
4.      Surat kepada Presiden
Dalam surat terbuka yang ia tujukan kepada presiden Republik Mesir, juga disebarluaskan oleh harian asy-Sya’b al-Qahiriyah, tertanggal 14/3/1986, ia berkata:
“Wahai paduka Presiden. Yang paling penting bagi kami sebagai kaum Muslimin di Mesir adalah menjadi bangsa yang aman, tentram dan tenang di bawah naungan syariat Allah Azza wa Jalla. Karena kemaslahatan umat ini hanya akan tercapai bila aturan Allah direalisasikan di tengah mereka. Saya kira tidak terlalu berlebihan bila saya katakan bahwa sesungguhnya penerapan syariat Allah Ta’ala di bumi Mesir akan menjadi pintu kemenangan bagi seluruh wilayahnya. Dan pada saat itulah sang pengadil dan terdakwa akan merasakan ketenangan, demikian pula yang akan dinikmati oleh penguasa dan rakyatnya.
5.      Arahan dan Petunjuknya
Dalam rangkaian nasehat dan arahannya yang ditujukan kepada para pemuda dan penyeru dari kalangan Ikhwan, beliau berkata:
“Sesungguhnya berbagai kesulitan yang dihadapi para da’i pada saat ini sangat berat dan penuh bahaya. Kekuatan material masa kini berada di tangan musuh-musuh Islam dimana mereka bersatu untuk menyingkirkan berbagai perbedaan yang ada di tengah mereka demi memerangi kaum Muslimin, dan khususnya Ikhwanul Muslimin.”
Bila didasarkan pada pertimbangan logika manusia, pasukan Thalut yang beriman sebenarnya tidak memiliki kekuatan melawan pasukan Jalut dan balatentaranya. Namun ketika keimanan mereka meyakini bahwa kemenangan itu berasal dari sisi Allah Ta’ala dan bukan karena faktor jumlah dan bekal yang dimiliki, mereka akhirnya sanggup menghancurkan pasukan Jalut dengan izin Allah Ta’ala.
Sesungguhnya saya tidak meremehkan kekuatan dari sisi jumlah, dan juga tidak menyeru kepada para du’at agar mereka hanya berpasrah diri, berzikir hingga mulut berbusa-busa sambil menggerakkan leher-leher ke kanan dan kiri lalu menepukkan tangannya. Karena semua ini adalah bencana mematikan dan membinasakan. Tapi berpegang teguh kepada wahyu yang diturunkan oleh Allah Ta’ala, berjihad dengan kalimat yang benar secara berkesinambungan, tidak peduli berbagai gangguan, menjadikan diri sebagai tauladan dalam kepahlawanan, keteguhan dan keberanian, disertai keyakinan bahwa bahwa Allah Ta’ala akan menguji mereka dengan rasa takut, lapar, berkurangnya harta, jiwa dan buah-buahan agar Ia mengetahui manakah orang-orang yang jujur dan pengecut, maka semua itu sesungguhnya adalah faktor-faktor hadirnya kemenangan sesuai sunnatullah. Kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an yang mulia adalah saksi terbaik yang menunjukkan hal itu, dan mengandung pelajaran yang sangat banyak.
Adapun para pemuda yang memiliki semangat dan tekad kuat menyertai kesadaran mereka yang dalam, maka sesungguhnya mereka tidak membutuhkan banyak eksperimen. Yang mereka butuhkan adalah kesabaran dan komitmen dengan petunjuk wahyu yang terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw., dan kemudian dari sirah Salafushshalih yang telah terikat prilaku dan moral mereka dengannya, dan Allah Ta’ala kemudian memberikan kemenangan dan kekuasaan yang seakan mustahil untuk diraih.

6.      Keteguhan dan Sikapnya
Ustadz Tilmisani mengetahui dengan baik makna keteguhan dan kekuatan saat berada di dalam dan di luar penjara. Ia sama sekali tidak goyah dengan ancaman. Sebagaimana diketahui sifat zuhud, iffah [mengendalikan diri untuk kehormatan] dan rasa takutnya kepada Allah Azza wa Jalla, serta kesungguhannya untuk meraih ridha-Nya. Beliau berkata, “Saya tidak pernah merasa takut kepada seorang pun selain kepada Allah, dan tidak ada sesuatu pun yang pernah menghalangiku untuk mengatakan kebenaran yang saya yakini, walau akhirnya sangat berat dirasakan oleh orang lain, dan walaupun saya harus  menghadapi kesulitan dalam melakukannya.
Saya akan mengatakan kebenaran itu dengan tenang, hati yang teguh walau dengan cara yang menarik, tidak mengganggu pendengaran dan tidak melukai jiwa mereka. Saya juga berusaha untuk menghindar dari kata-kata yang saya anggap tidak disukai oleh lawan bicaraku. Sehingga dengan cara seperti itu jiwaku dapat merasa tenang. Walau dengan metode seperti itu saya tidak menemukan banyak teman, tapi saya dapat menghindar dari banyaknya kejahatan musuh.”
Sikap jujur, ucapan yang terus-terang, amal yang serius dan cara menghadapi masalah dengan penuh keberanian, ketenangan, keteguhan dan ketegaran di hadapan berbagai berita yang berasal dari musuh-musuh internal dan eksternal dengan cara yang sama, adalah sifat dan karakter menonjol yang terdapat dalam diri ustadz Tilmisani.
7.      Menjaga kehormatan diri
Berita tentang dialog terbuka dengan presiden Anwar Sadat di kota Ismailiyah yang dihadiri oleh Ustadz Tilmisani sebagai undangan, disebarluaskan melalui radio dan televisi secara langsung. Dalam dialog tersebut Anwar Sadat menuduh Jamaah Ikhwan dengan fitnah sektarian, dan melontarkan berbagai tuduhan dusta. Mendengar tuduhan tersebut, ustadz Tilmisani lalu berdiri mengcounter berbagai tuduhan Sadat dengan ucapannya, “Adalah hal yang lumrah bila ada yang berlaku zalim pada diriku adalah mengadukan pelakunya kepadamu, karena engkau adalah rujukan tertinggi—setelah  Allah—bagi orang-orang yang mengadu ketika dianiaya. Kini saya mendapatkan kezaliman itu darimu dan membuatku tidak memiliki cara apa pun selain mengadukanmu kepada Allah Ta’ala.”
Saat mendengar ucapan ustadz Tilmisani, Anwar Sadatpun gemetar ketakutan. Ia lalu memohon kepada Ustadz Tilmisani agar mencabut pengaduan itu. Namun dengan tegas dan tetap tenang beliau menjawab:
“Sesungguhnya saya tidak mengadukanmu kepada pihak yang zalim, tapi kepada Dzat Yang Maha Adil dan mengetahui segala yang saya ucapkan!”
8. Metode dalam Berdialog
Metode dialog yang digunakan ustadz Tilmisani sangat memikat yang menggambarkan karakter Tilmisani secara keseluruhan. Karakter tersebut tidak dibuat-buat, tapi seperti itulah sifat sesungguhnya yang menonjol dalam dirinya saat berbicara, berbuat, berprilaku, bergaul dan berinteraksi dengan individu dan kelompok, atau pemimpin dan masyarakat tanpa membedakan yang besar atau kecil, kaya atau miskin. Dia meyakini prinsip-prinsip Ikhwan yang berlandaskan pada Kitabullah dan Sunnah, serta ijma’ kaum Salaf.
9. Jamaahnya
Dia melihat bahwa jamaah ini adalah sebuah gerakan Islam yang jujur pada zaman ini. Beliau berkata:
“Sesungguhnya yang mengikuti pada langkah-langkah Jamaah Ikhwanul Muslimin sejak masa kelahirannya pada tahun 1347H (1928) hingga hari ini, tidak tampak padanya kecuali pengorbanan demi pengorbanan dalam menegakkan akidah yang mereka anut, serta usaha yang padat dan memberi hasil dalam berbagai sisi kehidupan sosial masyarakat. Memberi dukungan berkesinambungan untuk mempererat jalinan persaudaraan di antara berbagai masyarakat Islam yang berbeda-beda, sekaligus menyebarluaskan kedamaian di seluruh dunia.
Ikhwanul Muslimin telah diperangi dengan sangat dahsyat dari berbagai arah, lokal dan internasional. Namun demikian, tidak pernah terdengar sedikit pun bahwa mereka menyebar fitnah di tengah masyarakat, memecah belah kesatuan, menghancurkan perusahaan-perusahaan, atau berdemonstrasi sambil melakukan pengrusakan di jalan-jalan, atau berteriak-teriak dengan mengatakan, “Hidup si Fulan, dan matilah si fulan.” Karena sifat mereka adalah kedamaian, pekerjaan mereka membangun, dan kemenangan mereka adalah keikhlasan. Namun demikian, mereka adalah sasaran kebencian yang bahkan dilakukan oleh orang-orang yang selama ini tidak pernah bertemu dalam sebuah kesepakatan, selain kesepakatan mereka untuk memerangi Ikhwanul Muslimin.
Setiap Muslim tidak mengenal adanya pemahaman yang mengatakan bahwa agama ini milik Allah, sementara negara untuk seluruh manusia. Tapi yang dia ketahui adalah bahwa segala sesuatu di atas muka bumi ini adalah milik Allah semata. Maka barang siapa yang ingin berpaling dari pemahaman ini, niscaya dia adalah penipu yang ingin memisahkan seorang Muslim dari menyatukan kekuatannya agar mereka lebih mudah mengalahkannya.
Seorang Muslim tidak mengenal pemahaman, “Apa yang untuk Allah adalah milik Allah, dan apa yang untuk Kaisar untuk Kaisar). Karena dia meyakini dengan sepenuh imannya bahwa Kaisar tidak memiliki sesuatu pun yang juga menjadi milik Allah. Karena bila demikian, maka ia dianggap sekutu dalam kekuasaan-Nya. Sementara setiap Muslim menolak segala bentuk kemusyrikan.
10. Sifat Zuhud, Rendah Hati dan Kesederhanaannya
Seperti itulah kehidupan ustadz Tilmisani, sang Da’i, murabbi dan pemimpin yang jujur dan setia pada janjinya dengan Allah, beramal untuk agama-Nya, terikat erat dalam dakwah kepada-Nya, senantiasa bersabar dan berjuang dengan berpegang teguh kepada tali Allah yang kokoh. Beramal bersama para mujahid yang jujur, apakah ia berposisi sebagai prajurit atau pemimpin. Sama juga baginya apakah ia berada di dalam atau di luar penjara. Ia tidak pernah berubah, tidak terwarnai, tidak berpaling, juga tidak pernah rakus kepada perhiasan dunia dan tipu daya kedudukan. Ia bahkan menjalani kehidupannya dengan menjauh dari godaan dunia menuju Allah Ta’ala.
Beliau tinggal di sebuah apartemen sederhana tanpa ada beban dalam jiwanya sedikit pun. Membuatku sangat trenyuh saat mengunjunginya, seraya berusaha menahan air mata yang nyaris keluar dari kelopak mataku agar ia tidak menyaksikanku. Dimanakah kita gerangan dari para lelaki yang lebih tinggi dari dunia dengan iman mereka, dan mempersembahkan sesuatu yang mahal dan murah demi agama yang mereka anut?
Apartemen Syaikh Umar Tilmisani berada di gang sempit di komplek al-Mulaiji asy-Sya’biyah al-Qadimah di wilayah az-Zahir di Kairo, di dalam gang sempit. Perabot apatemennya sangat sederhana. Walau ia berasal dari keluarga kaya raya dengan status sosial cukup tinggi. Seperti itulah sifat zuhud, kesederhanaan dan kerendahan hati ustadz Tilmisani. Beliau adalah sosok yang dicintai oleh seluruh lapisan masyarakat Mesir. Bahkan pemeluk Kristen Koptik juga menghormatinya. Demikian pula penguasa yang sangat menghargai kedudukannya dan mengetahui dengan baik keutamaan yang dimilikinya.
Adapun Ikhwanul Muslimin, maka mereka melihatnya sebagai sosok yang patut diteladani. Mereka berlomba untuk melaksanakan instruksi dan perintah yang datang darinya. Itulah yang terjadi ketika cinta karena Allah menjadi intisari yang menjalin hubungannya dengan mereka; ketika penerapan syariat Allah dan meraih redha-Nya adalah tujuan dan keinginan mereka.
Kunjungan Syaikh Umar Tilmisani ke negara-negara Arab Islam dan kaum Muslimin di negara-negara tempat mereka bermigrasi, bagaikan obat yang berusaha menyembuhkan luka yang mereka derita, sekaligus sebagai arahan bijak atas apa yang harus dilakukan oleh kaum Muslimin bagi agama, umat dan negeri mereka.
Ceramah, pelajaran, dialog, nasehat dan bimbingan yang ia sampaikan seluruhnya mengandung motivasi untuk umat, khususnya bagi para pemuda, kaum intelektual dan para tokoh ulama agar mereka mampu memikul tanggung jawab dan segera bangkit menjalankan peran mereka. Setiap elemen dari umat agar berada pada posisi masing-masing, beramal dan bekerja bersama untuk mengembalikan kejayaan Islam dan memimpin umat. Inilah sesungguhnya peran para du’at di setiap waktu dan zaman. Seperti itu pula risalah para nabi hingga akhirnya diwariskan kepada para ulama, para da’i yang jujur, dan orang-orang mukmin yang senantiasa ikhlas di atas jalan-Nya.
11. Tulisan dan Karya-karyanya
Ustadz Tilmisani turut andil dalam kancah pemikiran Islam melalui sebagian karya tulisannya yang diterbitkan dalam berbagai versi. Di antaranya adalah:
  1. Syahid al-Mihrab, Umar bin Khaththab
  2. Al-Khuruj min al-Maaziq al-Islami ar-Raahin
  3. Al-Islam wa al-Hukuumah ad-Diniyah
  4. Al-Islaam wa al-Hayaah
  5. Aaraa fi ad-Diin wa as-Siyaasah
  6. Al-Mulham al-Mauhuub, ustadz al-Banna, Ustadz al-Jiil
  7. Beberapa tulisan terkait tema “Nahwa an-Nuur”.
  8. Dzikrayaat laa Mudzakkiraat
  9. Al-Islaam wa Nazhratuhu as-Samiyah li al-Mar’ah
  10. Ba’dha ma ‘Allamani al-Ikhwan al-Muslimun
  11. Qola an-Naasu, wa lam aqul fi Hukmi Abdul Nasser
  12. Ayyam ma’a as-Saadaat
  13. Min Fikhi al-I’laam al-Islami
  14. Min shifaat al-’Aabidin
  15. Ya Hukkam al-Muslimin, alaa takhafuuna Allaha?
  16. Fi Riyadh at-Tauhid
  17. Laa nakhafu as-Salaam, walaakin
Ditambah lagi dengan tulisan-tulisannya di majalah Dakwah, Kairo dan yang terkait dengan masalah-masalah Islam yang dimuat di majalah yang lain, serta ceramah-ceramahnya di berbagai forum nasional dan internasional yang diadakan di negara-negara Arab Islam dan negara-negara Barat. Demikian pula dengan ceramah-ceramah yang disampaikannya dalam berbagai forum yang diadakan oleh Ikhwan.
12. Apa Kata mereka tentang Ustadz Tilmisani
Ustadz Muhammad Sa’id Abdurrahim berkata dalam tulisannya Umar Tilmisani, Mursyid ke tiga Ikhwanul Muslimin:
“Binasalah sang tiran, dan mereka yang menghabiskan masa yang sangat panjang di dalam jeruji besi akhirnya keluar setelah dibersihkan oleh berbagai ujian. Membuat jiwa mereka semakin kuat membaja. Walau tubuh mereka dihinakan, namun ruh mereka semakin kuat menggantung kepada Allah Ta’ala, dan merendahkan berbagai kemewahan duniawi yang pasti lenyap, dan rasa takut yang hilang dari dalam hati mereka selain hanya kepada-Nya.
Mereka keluar dari ujian dan fitnah itu sebagai lelaki laksana gunung kokoh tak goyah oleh oleh terpaan badai. Di dalam penjara mereka menghafal Al-Qur’an, menimba pengetahuan, dan berhasil mengalahkan hawa nasfu mereka. Bukan hanya itu, mereka juga mengajarkan manusia hakikat keberadaannya di dunia. Seperti itulah fungsi pejara bagi mereka; menjadi sekolah yang memberi mereka lebih banyak dari pada yang diminta dari mereka.
Di antara mereka yang keluar dari penjara itu adalah al-Akh Umar Tilmisani, dan sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mempersiapkannya untuk memimpin Jamaah Ikhwan pada fase tersebut. Dia adalah pemimpin yang tepat menahkodai bahtera Ikhwan di tengah gelombang dahsyat dengan bijak dan sabar, lembut dan tenang disertai iman yang teguh dan tekad yang tak tergoyahkan.
Dakwah tersebar luas pada masanya, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Para pemuda pun kembali kepada Islam, sehingga arus Islam menjadi arus sangat besar yang terjadi di berbagai perguruan tinggi, diberbagai asosiasi dan perkumpulan, bahkan di Mesir pada umumnya. Karena ia mampu mengendalikan bahtera tersebut dengan pengalamannya sebagai pemimpin piawai, dan keahlian seorang nahkoda, sehingga ia mampu menaklukkan gelombang dan marabahaya serta mengantarkannya tiba di pantai keselamatan.
Berbagai ujian dan cobaan dilalui Ustadz Tilmisani dalam kehidupannya. Di antaranya ketika ia di penjara selama hampir 20 tahun lamanya. Beliau termasuk orang paling sabar dari kalangan Ikhwan dalam menghadapi siksaan algojo di penjara. Namun demikian, betapa pun keras dan kejamnya siksaan itu dan buruknya perlakuan yang diterimanya, lisannya tidak pernah putus dari menyebut asma Allah Ta’ala Senantiasa mendoakan saudaranya yang lain agar tetap sabar dan teguh menghadapi berbagai ujian tersebut. Lisannya juga senantiasa bersih dan tidak terdengar darinya kata-kata keji terhadap mereka yang menganiaya dan menzaliminya. Ia senantiasa menyandarkan segala urusannya kepada Allah Ta’ala. Cukuplah Ia sebaik-baik pelindung.
13. Kembali Keharibaan-Nya
Allah Ta’ala memanggil hamba-Nya kembali keharibaan-Nya pada hari Rabu, 13 Ramadhan 1406, bertepatan dengan 22 Mei 1986. Beliau meninggal di rumah sakit setelah mengidap penyakit saat usianya 82 tahun. Jenazahnya lalu disalatkan di mesjid Umar yang mulia di Kairo. Lebih dari seperempat juta orang, bahkan setengah juta mengiringi jenazahnya menuju pemakamannya. Di antara mereka yang mengiringinya terdapat sejumlah utusan berasal dari dalam dan luar negeri. Saya sendiri dimuliakan Allah saat diberi kesempatan mengiringi jenazah tersebut bersama kalangan Ikhwan dari negeri Arab. Alhamdulillah.
Inilah profil ustadz Umar Tilmisani, mursyid ke tiga jamaah Ikhwanul Muslimin, dan sekilas dari perjalan hidup beliau. Kita senantiasa berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, semoga Ia menjadikannya termasuk orang-orang shalih dari hamba-Nya. Dan kelak kita menyusul kepergiannya di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/07/13393/ad-dai-sang-murabbi-umar-tilmisani/
http://www.dakwatuna.com/2011/08/13731/ad-dai-sang-murabbi-umar-tilmisani-bagian-ke-2-tamat/